Mencari Mawar Hitam

Mencari Mawar Hitam

MyMisteri Leony Li
- Paranormal muda, itulah sebutan yang sering kuterima dari beberapa orang yang pernah kutolong "tanpa sengaja". Kusebut demikian, karena sesungguhnya aku bukanlah paranormal sungguhan yang memiliki ilmu-ilmu gaib. Aku hanyalah memahami ramuan-ramuan dari tumbuhan (Botani).

Hanya sedikit saja pengetahuan kebatinan yang kuketahui. Itupun kumiliki karena aku belajar sendiri lewat buku. Aku memang kutu buku, terutama tentang tumbuh-tumbuhan yang sering digunakan sebagai ramuan obat, dan aku sering berburu tumbuhan langka.

Dari ramuan-ramuan yang sering ku buat, telah banyak orang tertolong. Bukan sombong, aku memiliki nama di daerahku sebagai Tuan Tabib. Banyak orang yang menyarankan aku agar belajar dan berguru ilmu kebatinan untuk menunjang keahlianku sebagai peramu obat.

Tantangan itu hadir ketika aku berkenalan dengan Trisno Bayat, seorang pedagang valuta asing yang sering nongkrong di Pasar Baru, Jakarta. Kepadaku, lelaki separuh baya itu mengeluhkan sakit yang diderita istrinya yang di kampung halamannya. Isteri Trisno mengalami gangguan jiwa.

Konon, menurut beberapa paranormal, sakit istrinya akibat di guna-guna ketika istrinya masih di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Setelah penyakitnya kian parah, istrinya dibawa ke kampung halaman. Sedangkan Trisno sendiri tetap di Jakarta mencari nafkah dengan menjadi pedagang mata uang asing.

Menurut Trisno, dari sekian banyak paranormal, rata-rata mereka mengatakan bahwa sakit istrinya itu akibat guna-guna yang dilakukan seorang dukun dari Ujung Kulon. Konon, dukun ini amat sakti dan menyembah berhala. Didapat dari keterangan pula bahwa guna-guna itu akan luntur bila istrinya memakan bunga Mawar Hitam. Katanya, hanya itulah satu-satunya penawar.

Kepadaku, Pak Trisno meminta bantuan agar dicarikan bunga itu. Aku bingung, sebab aku sendiripun belum pernah melihatnya selain hanya mendengar namanya saja. Sebuah permintaan yang tak mungkin aku dapatkan. Sebab bunga itu konon hanya tumbuh di alam siluman. Tak sembarang orang dapat mengambilnya.

Tapi, aku jadi bersemangat ketika Pak Trisno menawarkan imbalan uang sepuluh juta rupiah bila mendapatkan bunga itu. Walau terus terang aku tak tahu bagaiman caranya, tapi sebagai petualang, sekaligus ingin mengetahui lebih jauh tentang mitos bunga itu, akhirnya dengan sedikit memberi harapan aku bilang akan berusaha mencarinya.

"Tolong, jangan berharap banyak dariku, sebab aku bukan dukun!" kataku sambil senyum. "Aku percaya padamu, sebab aku yakin Tuhan memang telah mengutusmu untuk menyembuhkan isteriku," ujar Pak Trisno sambil menepuk bahuku yang bidang.

Aku akhirnya pulang kampung menemui Mbah Gribig, seorang dukun kejawen yang sudah cukup tua. Setelah mengutarakan maksud, dengan sedikit berkelekar Mbah Gribig mengatakan bahwa bunga itu hanya ada dalam dongeng saja. Tapi aku terus mendesaknya hingga aku disarankan untuk lelaku mencari petunjuk.

Tanpa buang waktu aku sanggupi saran itu. Dengan bimbingannya aku mulai melakukan ritual yang cukup berat dan menakutkan. Dalam ritual itu, ketika aku bersemedi, di Alam Bawah Sadar aku melihat alam aneh yang di sekelilingnya berseliweran makhluk-makhluk seram dan menakutkan. Mereka seolah ingin melumatku.

Godaan itu datang semakin berat. Hingga malam ketiga, aku melihat sebuah kolam air yang ditengahnya banyak perempuan-perempuan sedang mandi. Mereka sangat cantik, mirip bidadari. Di tepi kolam itu, di atas bebatuan sempat kulihat pula beberapa orang menatapku dengan wajah dan gerakan tubuh menggoda birahiku.

Suasana tempat itu sangat sejuk dan indah, seperti di sebuah keputren kerajaan jaman dulu. Tapi pemandangan itu tak berlangsung lama. Ketika terdengar kokok ayam, para bidadari itu seperti terkejut lalu saling berebutan untuk keluar dari kolam.

Konsentrasiku buyar pula akhirnya. Tiba-tiba aku dapati diriku tersadar dengan (maaf) terbangunnya alat vitalku. Aku tak tahu mengapa begitu, mungkin karena melihat gadis-gadis sedang bugil di kolam itu.

Hal itu kuutarakan kepada Mbah Gribig. Aku juga bilang tak menemukan petunjuk tentang mawar hitam. Tapi jawaban yang kuperoleh sangat mengejutkan. Mbah Gribig bilang, gadis-gadis itulah mawar hitam. Aku terkejut bukan main, bahkan aku tak percaya.

"Dalam dunia gaib, mata batinmu belum mampu melihat hal sesungguhnya, tapi bisa pula itulah sesungguhnya. Sebab dengan nalar saja itu tak akan berarti disana. Itulah dunia gaib," katanya menakinkan diriku.

Tapi aku tetap kekeh untuk mendapatkan bunga itu, entah berujud singa sekalipun, kataku. Dengan geleng-geleng kepala Mbah Gribig akhirnya berjanji akan membantuku mendapatkan bunga itu. Tapi dia juga bilang belum tentu sanggup, sebab taruhannya adalah nyawa.

Malam Selasa Wage, kami berdua kembali melakukan semedi. Cukup lama kami mengosongkan hati dan pikiran. Kata Mbah Gribig, aku akan diajak meraga sukma, dan salah sedikit saja akan sanga fatal akibatnya.

Singkat kata, ketika aku bisa mengosongkan pikiran, aku melihat setitik cahaya redup yang lambat laun membesar berwarna-warni. Aku berputar-putar hampir tak kuat karena pusing. Waktu awal semedi kedua tanganku saling berpegangan dengan Mbah Gribig, tapi kini aku seolah seorang diri berputar-putar seperti kitiran.

Aku melayang-layang seperti kapas, sedang di belakangku nampak makhluk-makhluk ganjil mengejar-ngerjarku dengan penuh amarah, seolah ingin menangkapku. Aku merasa sedikit tenang ketika Mbah Gribig berada di belakangku dan mencekal kakiku serta menariknya ke sebuah cekungan tanah.

Kami bersembunyi. Ketika susana aman kami kembali melayang seperti terbang melawati gurun pasir sangat panas. Kami terus terbang, hingga tiba di sebuah gapura besar seperti pintu gerbang sebuah kerajaan. Kami menyelinap masuk dengan penuh waspada menghindari para penjaga yang berada di setiap penjuru dengan senjata terhunus.

Melihat para penjaga itu aku jadi teringat sinetron Mak Lampir. Mungkin ini kerajaan jaman dulu, pikirku. Kami berhasil masuk ke keputren dan melihat kembali gadis-gadis bugil itu. "Kau harus bisa menculik salah satu gadis itu dan mengikatnya dengan tambang pendek yang aku bawa!" bisik Mbah Gribig.

Akhirnya, kami mengincar salah seorang gadis yang sedang sendiri. Dia agak jauh dari temannya dan sedang menyisir rambutnya yang panjang. Di suatu kesempatan, dengan nekad aku tangkap gadis itu dari belakang dan mengikatnya. Namun sebelum terlaksana, gadis itu sempat menoleh dan mengetahui keberadaanku.

Gadis itu menjerit ketakutan hingga membuat gaduh keputren. Kami berdua jadi panik dan gadis itupun berlari menuju sebuah pintu kecil untuk menyelamatkan diri. Banyak prajurit berdatangan dan terdengar terompet. Mbah Gribig pun panik. Apalagi aku. Di saat suasana mencekam, Mbah Gribig mengeluarkan cermin kecil dan keris.

Saat itu kami sudah terkepung dan pasrah. Tapi tiba-tiba Mbah Gribig menancapkan keris itu ke tanah dan melemparkan cermin ke arah para prajurit bersenjata. Terdengar ledakan keras. Tanah tempat keris itu menancap seperti berputar menyedot kami bedua ke dalamnya.

Saat aku tersedot ke tanah berputar, tanganku sempat terlepas dari pegangan Mbah Gribig. Aku melihat sekelebatan cahaya menuju arahku yang ternyata ayunan pedang hingga menyerempet tanganku. Untung hanya tergores, tapi lukanya cukup perih.

Entah apa yang diperbuat Mbah Gribig, ketika tanganku terpegang kembali olehnya, tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Aku tersadar penuh peluh dan nafas tersengal serta sakit di seluruh badan dan perih. Mbah Gribig lebih parah lagi. Ia kelojotan dan muntah darah. Akhirnya ia mampu duduk dan menenangkan diri.

Aku baru sadar, tak mudah mendapatkan bunga itu yang sesungguhnya bukan sekuntum bunga tapi sesosok siluman. Masih untung kami tak tertangkap para prajurit. Menurut Mbah Gribig, bila aku dapat menangkap gadis itu, dan membawanya ke alam dunia, akan terlihat seperti bunga mawar tapi berwarna hitam. Aku tambah terkejut, ternyata bukan sekali ini Mbah Gribig melakukannya, tapi sudah sering kali.

"Sayangnya tak pernah berhasil!" kilahnya dengan wajah tegang. Mbah Gribig mengaku telah lama pula mencari bunga mawar hitam. "Sudah beberapa kali aku mencobanya, tapi tak pernah berhasil. Aku berharap kau bisa membantuku, tapi ternyata malah nyawaku terancam!" katanya.

Aku kini jadi berpikir negatif pada Mbah Gribig, jangan-jangan ia memanfaatkanku. "Jangan berpikir macam-macam, bunga itu banyak manfaatnya, juga untuk mengobati istri Pak Trisno itu," katanya lagi seolah tahu kecurigaanku.

Luka pedang di tanganku pun tak nampak seperti tak pernah apa-apa. Tapi entah, aku masih merasakan perih apalagi bila terkena sinar matahari. Dan atas saran Mbah Gribig, lukaku akan sembuh sendiri bila lewat seratus hari dengan catatan harus rajin mengolesi minyak yang diberikan Mbah Gribig tiap tengah hari.

Pengalaman yang tak terlupakan. Walau nyawaku hampir terancam tapi aku tak puas berhenti sampai disini. Kini aku tambah mengerti, ternyata alam gaib tak seremeh yang aku bayangkan.